Notification

×

Iklan

Iklan

Etika dan Konsistensi Partai: Perbandingan Sikap Kader Pusat dan Daerah di Gerindra

Senin, 22 September 2025 | September 22, 2025 WIB



Medan Pewarta Warga - Dua peristiwa terkini menguji integritas internal Partai Gerindra. Pertama, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo – politikus Gerindra dan Wakil Ketua Komisi VII DPR – mengundurkan diri setelah potongan pernyataannya dalam sebuah podcast viral dan menimbulkan kritik luas. Kedua, Ajie Karim – anggota DPRD Sumut dari Fraksi Gerindra – terlibat kontroversi video dirinya sedang berjoget di klub malam saat unjuk rasa besar. 

Keduanya dianggap melanggar etika politik dan merugikan citra partai. Penting dicermati apakah respons Gerindra terhadap kedua kasus ini konsisten dan sesuai prinsip tanggung jawab publik serta akuntabilitas kelembagaan.


*Kasus Rahayu Saraswati*

Rahayu mengumumkan pengunduran dirinya dari DPR RI (Periode 2024–2029) pada 10 September 2025. Keputusan itu terkait potongan rekaman podcast Februari 2025 yang kembali viral di Agustus lalu. Dalam klip berdurasi dua menit tersebut, Saraswati menyarankan anak muda “menjadi pengusaha daripada ngomel nggak ada kerjaan. 

Ucapan ini dianggap meremehkan perjuangan pencari kerja dan menyinggung publik. Menyikapi kritik, Rahayu meminta maaf dan mengakui kealpaannya. 

Ia menyatakan paham kesulitan membangun usaha dan menyadari posisinya berbeda, sehingga “karena itu saja memilih bertanggung jawab secara moral” atas ucapannya. Langkah selanjutnya, surat pengunduran dirinya sudah diajukan ke Fraksi Gerindra.

Fraksi Gerindra DPR RI merespons dengan menyatakan menghormati keputusan Rahayu dan akan memproses pengunduran dirinya sesuai mekanisme hukum yang berlaku. Sekretaris Fraksi Bambang Haryadi menegaskan partai akan “mematuhi mekanisme yang berlaku, termasuk penonaktifan sementara hingga proses selesai”. 

Dengan demikian, Rahayu Saraswati pasif secara administratif sementara DPR meninjau proses pengunduran itu. Dalam pernyataannya, Rahayu juga menegaskan komitmennya melanjutkan upaya pemberdayaan anak muda dan isu-isu sosial lainnya di luar kursi legislatif.

*Kasus Ajie Karim*

Ajie Karim, anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara dari Fraksi Gerindra, ikut tersorot saat sebuah video memperlihatkannya berjoget dan minum-minuman di klub malam beredar pada 31 Agustus 2025. Kejadian itu terjadi ketika demonstrasi besar berlangsung di Medan, sehingga aksi Ajie dikecam sebagai tidak berempati terhadap aspirasi publik.

Sebuah aliansi mahasiswa menyatroni kantor DPD Gerindra Sumut (10/9/2025) dan menuntut agar DPD memecat Ajie dari DPRD. Mereka menyatakan tindakan tersebut “melanggar beberapa peraturan dan kode etik”. Dalam tuntutan resmi, mahasiswa menyebutkan pelanggaran terhadap UU MD3 Pasal 373 yang mewajibkan anggota dewan menjaga etika, martabat, dan nama baik lembaga. Mereka juga mengutip UU Partai Politik No.2/2011 (etika politik) dan AD/ART Gerindra yang mewajibkan kader menjaga marwah partai. 

Secara singkat tuntutan mahasiswa, terdiri dari:
• Pemberhentian Ajie sebagai anggota DPRD Sumut dan pengusulan Pergantian Antar Waktu (PAW) kepada DPP Gerindra
• ⁠Pemberhentian Ajie sebagai kader Gerindra secara permanen. 
• ⁠Pelaporan proses penanganan tuntutan secara transparan kepada publik. 

Ajie menanggapi kritikan ini dengan mengklaim video tersebut “itu video lama, sudah dua tahun lalu” dan diunggah oleh istrinya. Setelah menyadari viralnya video, ia mengaku segera menghapusnya dan meminta maaf atas kegaduhan yang terjadi. Pagi harinya ia bahkan telah dipanggil pihak DPD Gerindra Sumut untuk memberi penjelasan internal. Namun, hingga 10 September 2025 Gerindra Sumut belum mengeluarkan sanksi formal atau pernyataan tegas terhadap Ajie. 

Pantauan Mistar melaporkan bahwa aksi mahasiswa diterima pihak DPD, tetapi “hingga berita ini diturunkan, tak satu pun pengurus internal Gerindra menemui mereka (10 September 2025)”. Ketua DPD Gerindra Sumut, Ade Jona Prasetyo, bahkan enggan memberikan keterangan tentang tuntutan pencopotan. Situasi ini menyebabkan sebagian masyarakat menilai respons partai daerah sangat lambat dan tidak tegas, mengingat pelanggaran etika yang diangkat mahasiswa sudah jelas sesuai UU dan kode etik partai.

*Analisis Etika dan Akuntabilitas Partai Gerindra*

Kedua kasus di atas melibatkan kader Gerindra pada level pusat (DPR) dan daerah (DPRD). Secara normatif, partai politik diharapkan menjalankan prinsip etika yang konsisten kepada semua kadernya. Beberapa rujukan relevan antara lain: 
• UU MD3 No.17/2014 Pasal 373: “Anggota dewan wajib menjaga etika, martabat, dan nama baik lembaga”.
• ⁠UU Partai Politik No.2/2011: Partai politik wajib menjunjung tinggi etika politik dalam setiap aktivitasnya. 
• ⁠AD/ART Partai Gerindra: Menegaskan setiap kader harus “menjaga marwah partai dan menjadi teladan”.
• ⁠Tanggung Jawab Publik Legislatif: Setiap wakil rakyat “setiap saat dituntut bertanggung jawab kepada publik”. Kewajiban moral ini berlaku baik bagi anggota DPR maupun DPRD. 
• ⁠Prinsip Etika Komunikasi Publik: Politisi harus menyampaikan pesan dengan empati dan kesantunan agar tidak “menabur garam di luka” rakyat, terutama dalam situasi krisis sosial. 

Dengan kerangka tersebut, tampak bahwa baik Rahayu maupun Ajie berada di bawah mekanisme etika politik yang sama. Rahayu Saraswati yang dinilai merendahkan perjuangan rakyat kecil segera mengaku bersalah dan memilih mundur; Fraksi Gerindra pun menghormati proses ini secara terbuka. Sebaliknya, kasus Ajie Karim yang juga melanggar etika politik (walaupun dengan konteks berbeda) belum direspons dengan sanksi serupa. Ajie hanya menjelaskan secara internal dan meminta maaf, sedangkan tuntutan perbaikan partai tidak dipenuhi sampai hari aksi mahasiswa. Sebagian publik menganggap ini inkonsistensi: jika Gerindra menekankan etika politik, maka partai seharusnya menegakkan aturan yang sama tanpa membeda-bedakan tingkat jabatan atau wilayah. Dikutip dari Waspada, Tokoh Pemuda Sumut Pangeran Siregat menyoroti perbedaan perlakuan ini:

“Perbandingan ini menimbulkan pertanyaan serius, mengapa Saraswati bisa mundur secara terhormat, sementara Ajie Karim justru dipertahankan. Publik menilai Gerindra Sumut di bawah kepemimpinan Ade Jona Prasetyo sedang mempertontonkan standar ganda dalam menegakkan disiplin kader. Pada satu sisi, kader pusat rela mengorbankan jabatan demi menjaga nama baik. Di sisi lain, kader daerah justru dilindungi, meski sudah jelas melanggar etika publik, Perilaku dugem yang viral jelas dapat ditafsirkan sebagai pelanggaran terhadap kewajiban tersebut. Apalagi, Gerindra memiliki kode etik internal yang mengikat setiap kader untuk menjunjung tinggi nilai moral dan menjauhi perbuatan tercela,”

Kasus Rahayu Saraswati dan Ajie Karim menunjukkan ujian serius bagi kredibilitas Partai Gerindra. Kedua kader tersebut berasal dari fraksi yang sama, namun perlakuan partai terhadap mereka berbeda: satu mengundurkan diri secara sukarela dan diproses oleh partai pusat, sementara yang lain dibiarkan tanpa sanksi jelas oleh partai daerah. Dari perspektif etika politik dan tanggung jawab publik, partai politik idealnya menegakkan aturan internal dan norma moral secara konsisten di semua tingkatan. Artinya, jika keputusan Rahayu dianggap sudah tepat dan terhormat, mestinya partai juga mengambil langkah tegas terhadap Ajie yang perbuatannya dinilai mencoreng nama baik lembaga. Kegagalan menunjukkan standar yang sama berisiko mengurangi kepercayaan rakyat terhadap institusi politik. Oleh karena itu, demi mempertahankan akuntabilitas kelembagaan dan integritas etika politik, Partai Gerindra perlu menegaskan sikap yang konsisten mengikatkan konsekuensi moral yang setara bagi semua kadernya, baik di pusat maupun di daerah. (Politikus)

_____________
Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email:medanpewartawarga@gmail.com. Terima kasih.
×